Keluarga Yang Melayani

Pendahuluan
“Melayani” adalah istilah yang tidak asing di dalam kekristenan sehingga semua orang yang mengaku sebagai orang Kristen haruslah menyadari bahwa dirinya adalah seorang pelayan atau hamba. Kita dipanggil untuk memiliki gaya hidup yang mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri kita sendiri. Hal itu terungkap dalam pengajaran Paulus dalam Filipi 2, “tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri” (ay. 2-3).
Paulus pun melanjutkan agar kita meneladani Yesus Kristus dalam hal pelayanan ini, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (ay. 6-7). Hal ini selaras dengan perkataan Yesus sendiri bahwa tujuan kedatangan-Nya ke dalam dunia adalah untuk melayani. “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk. 10:45).
Jika demikian, kita meyakini bahwa prinsip “melayani” adalah prinsip yang seharusnya mewarnai seluruh kehidupan orang percaya, termasuk di dalam bidang pernikahan dan keluarga. Prinsip melayani ini begitu bermanfaat di dalam membangun pernikahan yang sehat dan mantap, sehingga Gary Chapman menggunakannya sebagai salah satu tanda pernikahan yang fungsional. “Dalam keluarga yang sehat, para anggota mempunyai perasaan bahwa kalau mereka melakukan sesuatu untuk kepentingan anggota-anggota keluarga lain, mereka melakukan sesuatu yang benar-benar baik ... Dalam keluarga yang fungsional, akan bertumbuh suatu kesadaran bahwa melayani orang lain merupakan salah satu panggilan hidup yang paling tinggi. ”[1]

Melayani: Desain Allah Bagi Pernikahan
Allah menciptakan manusia dengan rancangan yang sangat istimewa, yakni menurut “gambar dan rupa Allah” (Kej. 1:26-27). Salah satu implikasi dari keunikan ini adalah “menekankan tugas yang Allah berikan untuk kita jalankan di dunia ini.”[2] Tuhan berkata, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”(Kej. 1:28).
Perintah Allah ini seringkali disebut sebagai mandat budaya. Menurut Pratt, mandat budaya ini mencakup dua tanggung jawab besar: beranak cucu dan berkuasa. Pertama, Allah memerintahkan Adam dan Hawa untuk beranak cucu, “beranakcuculah ... bertambah banyak ... penuhilah.” Ini menunjuk pada tugas mereka untuk menghasilkan gambar Allah yang lain untuk memenuhi bumi. Kedua, Allah memerintahkan mereka untuk mengusai bumi, “penuhilah ... taklukkanlah ... berkuasalah.” Adam dan Hawa harus menjalankan otoritas atas ciptaan, mengatur sumber-sumbernya yang banyak itu atas nama Allah. Pratt menambahkan bahwa kedua mandat ini tidak dapat dipisahkan. Jadi, sudah sejak awal kedua sisi mandat budaya ini menjadi tugas utama kita di kehidupan ini, yakni beranak cucu dan menguasai bumi.
Tugas untuk beranak cucu ini dilakukan oleh Adam dan Hawa dalam pernikahan – mereka memiliki anak. Alkitab menyebutkan bahwa anak laki-laki dan perempuan adalah milik pusaka Allah dan mereka adalah berkat dari Allah. “Memiliki anak” ini bukan sekedar reproduksi biologis, tetapi melipatgandakan gambar dan rupa Allah. Allah memerintahkan mereka untuk memenuhi bumi dengan orang-orang yang melayani sebagai representasi-Nya yang agung.
Karena itu, kita melihat bahwa keluarga juga mempunyai peran yang sangat penting sebagai tempat untuk melayani. Suami diperintahkan untuk melayani istri, dan istri pun diperintahkan untuk melayani suami. Orang tua diperintahkan untuk melayani anak-anak dan anak-anak diperintahkan untuk melayani orangtua. Keluarga adalah tempat yang paling penting dan mendasar untuk menerapkan pelayanan.
Dalam kenyataannya, melayani di dalam keluarga tidaklah gampang. Kepribadian dan karakter yang berbeda antara suami dan istri bisa menimbulkan konflik dan ketegangan, begitu juga perbedaan kepribadian dan karakter anak. Hal ini membuat kita sulit untuk melayani dan bisa menimbulkan perasaan-perasaan negatif di dalam diri kita. Tuhan tidak meminta kita untuk hanya mengasihi mereka yang layak dikasihi atau hanya mereka yang bisa membalas kebaikan dan pelayanan kita.
Tuhan Yesus memberikan teladan tentang melayani orang-orang yang sulit, bahkan orang-orang yang dianggap tidak layani untuk dilayani. Tidak ada seorang pun dari murid-murid-Nya yang layak untuk dibasuh kakinya oleh Yesus (Yoh. 13). Walau pun begitu, Ia tetap membasuh kaki mereka. Jika Yesus memberikan teladan seperti itu, maka kita pun wajib untuk melayani seperti demikian. “Ketika saya bertindak atas dasar ketaatan kepada Tuhan, orang yang saya layani tidak perlu memenuhi syarat apa pun. Mereka mendapat keuntungan karena apa yang saya lakukan bagi Tuhan.”
Kebenaran ini memang sulit dilakukan di dalam pernikahan dan keluarga yang memiliki begitu banyak tuntutan dan harapan. Namun, di sinilah salah satu bentuk ketaatan kita pada Allah untuk meneladi-Nya, secara khusus untuk melayani keluarga. Perinta Tuhan selalu layak untuk ditaati, dan Tuhan memanggil kita untuk mengasihi pasangan kita dan seluruh anggota keluarga kita. Jika ini terjadi, maka kita akan meneruskan warisan spiritual kepada generasi-generasi berikutnya. “Tanpa pelipatgandaan spiritual, kita gagal dalam memenuhi tujuan dasar hidup kita di dunia ini. Melalui contoh, disiplin, pengajaran dan doa, kita memimpin anak-anak kita untuk hidup serupa dengan-Nya.”[3] 

Panggilan untuk Melayani Bagi Keluarga Kristen Masa Kini
Mandat Budaya yang Allah tetapkan ini masih tetap berlaku hingga masa kini. Allah tetap memanggil keluarga-keluarga Kristen untuk menjadi keluarga yang melayani sehingga bisa menjadi berkat bagi keluarga itu sendiri dan bagi pekerjaan Allah secara umum. “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga" (Mat. 5:16).
Yang dimaksud dengan “menjadi berkat bagi keluarga itu sendiri” adalah:
1.       Manusia membutuhkan contoh/teladan di dalam melayani. Bila suami dan istri memberikan teladan yang baik tentang saling melayani maka hal ini akan memberikan inspirasi atau dorongan bagi seluruh anggota keluarga untuk melayani. Orang yang tidak pernah mengalami “dilayani” akan sulit untuk tergerak melayani. Sebaliknya, orang yang pernah mengalami “dilayani” akan lebih mudah untuk melayani. Dengan demikian, anak-anak akan terdorong melayani di tengah-tengah keluarga.
2.       Membangun spirit “saling melayani” di dalam keluarga. Bila poin pertama bisa terjadi, maka semangat untuk saling melayani akan mewarnai pernikahan dan keluarga. Keluarga akan belajar untuk mengutamakan other-centered, dan belajar untuk tidak self-centered.
Selain menjadi berkat bagi keluarga sendiri, hal ini pun bisa menjadi berkat bagi pekerjaan Allah. Kita akan membawa keluarga kita untuk menjadi keluarga yang peduli kepada pekerjaan-pekerjaan Allah, misalnya terlibat dalam pelayanan di gereja, di lembaga misi, atau pelayanan-pelayanan sosial lainnya. Keterlibatan keluarga-keluarga dalam pekerjaan Allah sangat diperlukan karena, selain untuk melaksanakan mandat budaya, juga karena pekerjaan Allah yang begitu luas membutuhkan keterlibatan seluruh jemaat Tuhan. Setiap umat Tuhan memiliki peran yang penting dalam pekerjaan Tuhan.


Tantangan Menjadi Keluarga Yang Melayani
Untuk membangun keluarga yang melayani tidak selalu mudah. Ada beberapa tantangan yang dihadapi, antara lain:
1.       Family-oriented. Maksudnya, keluarga-keluarga memberikan perhatian yang sangat besar kepada keluarga, sehingga segala sesuatu yang dilakukan untuk kepentingan keluarga. Bila ada sesuatu yang akan dilakukan dan itu bertubrukan dengan kepentingan keluarga, maka mereka akan mengutamakan kepentingan keluarga. Hal ini membuat keluarga tersebut tidak memberikan kesempatan bagi “kepentingan yang lain” untuk masuk ke dalam keluarga mereka.
2.       Kesibukan pekerjaan yang menyita banyak waktu. Tuntutan pekerjaan dan kebutuhan hidup membuat banyak keluarga menghabiskan waktu di tempat pekerjaan mereka masing-masing. Tidak jarang suami dan istri memutuskan untuk sama-sama memiliki pekerjaan tetap. Terkadang, mereka pun diharuskan atau terpaksa lembur untuk memenuhi tuntutan yang ada. Kondisi ini membuat jemaat mengalami kesulitan untuk membagi waktu antara tuntutan keluarga, pekerjaan, dan ditambah lagi dengan pelayanan. Karena itu, banyak keluarga yang memilih pilihan yang pertama dan kedua, dan menunda (atau tidak memilih) untuk pilihan yang ketiga.
3.       Berkaitan dengan poin yang kedua di atas, dampak lain yang juga dialami adalah kelelahan fisik. Hal ini membuat mereka untuk lebih memilih beristirahat di rumah daripada harus berlelah-lelahan lagi di tempat pelayanan. Dengan beristirahat di rumah, mereka bisa memiliki waktu buat keluarga dan sekaligus memulihkan kesehatan mereka sehingga siap untuk pekerjaan di keesokan hari.  


Apa Yang Harus Dilakukan?
1.       Setiap suami-istri harus menyadari bahwa keberlangsungan pekerjaan Tuhan dipercayakan pada diri mereka (sebagai orangtua) maupun bagi anak-anak mereka. Pekerjaan Tuhan tidak boleh berhenti, tapi harus terus berlanjut. Karena itu, diperlukan orang-orang yang bersedia dan rela hati untuk melanjutkannya. Anak-anak kita adalah generasi-generasi penerus dari pekerjaan Tuhan. Jika mereka tidak diajar dan dilatih untuk melayani sejak masih muda, maka mereka akan kesulitan untuk terlibat dalam pekerjaan Tuhan di waktu-waktu yang akan datang.
2.       Setiap suami-istri harus menjadi teladan yang pertama dalam melayani. Dalam Efesus 5:21, Paulus membahas tentang kerendahan hati, “dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.” Topik ini dipergunakan oleh Paulus sebagai topik pendahulu sebelum membahas tentang hubungan suami-istri, orang tua-anak, tuan-hamba, sehingga diharapkan ada kerendahan hati dalam relasi-relasi tersebut. Hanya dengan kerendahan hati, maka suami dan istri bisa saling melayani. Mulailah dari hal-hal yang kecil dan perlihatkan kepada anak-anak tentang pelayanan kita pada pasangan kita. Juga, terlibatlah dalam pelayanan di gereja, walau puh itu hal-hal yang kecil dan sederhana. 
3.       Mengajarkan kepada anak-anak tentang prinsip firman Tuhan bahwa setiap orang Kristen dipanggil untuk melayani Tuhan, dan mulailah libatkan mereka dalam pelayanan-pelayanan di gereja untuk bidang-bidang yang sesuai dengan kemampuan mereka.
4.       Membangun situasi yang kondusif untuk melibatkan anak-anak di dalam pelayanan.
a.       Mengajar anak-anak untuk menghormati setiap orang di dalam rumah, termasuk karyawan atau pembantu yang bekerja di rumah.
b.      Mengajak dan melibatkan anak dalam pelayanan-pelayanan sosial, baik yang dilakukan oleh gereja, yayasan misi, atau yang dilakukan secara pribadi.
c.       Kesediaan dan keseriusan orang tua untuk mendukung anak-anak agar terlibat dalam pelayanan di gereja. Misalnya, dengan mengantar-menjemput anak untuk mengikuti latihan atau pelayanan di gereja.
d.      Mengarahkan anak-anak di bidang pelayanan yang sesuai dengan minat, bakat dan ketertarikan mereka.




[1]H. 24.
[2]Richard Pratt, Dirancang, hl. 28.
[3]Pratt, hl. 37.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khotbah - Zakheus - Hidup yang diubahkan Kristus

Ringkasan Khotbah: AJARKAN MEREKA MENGASIHI ALLAH (Keluarga)

Ringkasan Khotbah - Yesus Lebih Tinggi dari Segalanya (Ibrani 1:1-4)