Family Devotion: Menjadi Pengajar Utama di Rumah
RENUNGAN KELUARGA – Building A Strong Family
Menjadi Pengajar Utama di Rumah
“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
(Roma 12:1-2)
Kita akan melakukan sesuatu yang kita yakini sebagai sebuah kebenaran. Sebaliknya, bila sesuatu itu tidak kita yakini sebagai kebenaran, maka kita tidak akan melakukannya. Sebagai contoh, jika kita meyakini bahwa sebuah kursi sanggup untuk dapat menahan berat badan kita, maka kita akan mengambil tindakan untuk duduk di atas kursi tersebut. Namun, jika kita yakin bahwa kursi itu goyang dan tidak akan mampu untuk menahan berat badan kita, maka kita memutuskan untuk tidak duduk di atasnya. Jika demikian, betapa besarnya pengaruh “apa yang kita yakini sebagai kebenaran” di dalam kehidupan kita.
Terkait dengan hal yang di atas, maka perlu kita sadari pertama kali bahwa kita adalah orang yang menganut suatu teologi atau ajaran tertentu tentang Tuhan. Misalnya: Tuhan itu baik. Tuhan itu mengasihi saya dan berkorban bagi saya. Walaupun kita bukan orang yang berlatar belakang sekolah teologi, kita adalah orang yang “berteologi.” Kita mengimaninya dan kita melakukannya dalam kehidupan kita. Selain itu, kita juga perlu menyadari adalah bahwa kita mengajarkan teologi atau ajaran tersebut kepada orang lain, entah kita sadari atau tidak. Dengan kata lain, setiap kita adalah “guru agama bagi orang lain.”
Tentu saja hal ini terjadi secara nyata di dalam keluarga kita. Sebagai orang tua, kita memiliki suatu ajaran tertentu dan kita mengajarkannya kepada anggota keluarga kita. Sebagai contoh: ketika kita melewati sebuah tempat yang dianggap “angker” atau “keramat” maka kita meminta “izin” dari “orang tua yang berada di tempat tersebut.” Kita meyakini bahwa hal ini sebagai sebuah kebenaran, dan kita menghidupinya dan mengajarkannya kepada anak-anak kita. Masih banyak contoh-contoh yang lain, dan kita mengajarkannya kepada anggota keluarga kita.
Karena itu, betapa pentingnya untuk kita mengevaluasi “kebenaran yang kita yakini” selama ini: apakah memang ini adalah sebuah kebenaran? Atau, apakah ini adalah sebuah kebohongan? Apakah kita mengetahui bahwa kita sedang mempercayai sesuatu yang salah? Kita membutuhkan Firman Tuhan untuk menerangi hati dan pikiran kita. Firman Tuhan adalah pelita dan terang bagi hidup kita. Firman Tuhan akan memberitahukan kepada kita tentang apa yang ada di dalam hati dan pikiran kita: apakah sudah sesuai dengan kebenaran Tuhan atau belum.
Sebagai orang tua, pastilah anak-anak kita mengajukan banyak pertanyaan tentang hal-hal yang rohani kepada diri kita. Misalnya, siapakah yang menciptakan alam semesta ini? Siapakah Yesus itu? Mengapa harus melalui pengorbanan di kayu salib? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang kita dapati. Hal ini mendorong kita untuk memperlengkapi diri kita dalam memahami kebenaran firman Tuhan.
Rasul Paulus menegaskan agar kita mengalami perubahan dan pembaharuan, “berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Ini merupakan salah satu tahap yang harus terjadi di dalam hidup kita. Tuhan menghendaki agar kita mengenal kebenaran-Nya seturut dengan apa yang telah ditetapkan-Nya. Kita tidak boleh membangun paradigma sendiri tentang Allah. Sebaliknya, kita harus dengan rela hati melepaskan paradigma yang lama dan yang keliru, lalu menggantinya dengan yang baru.
Pengenalan yang benar tentang Tuhan akan menjadi dasar yang kuat bagi sebuah pernikahan-keluarga. Ada banyak keputusan dan langkah yang harus diambil oleh sebuah keluarga. Namun, bila kita mengerti dan mengenal kebenaran Tuhan, maka itu akan menjadi pedoman dalam berbagai keputusan yang diambil dalam pernikahan-keluarga. Namun, jika kita tidak memiliki pemahaman yang benar, maka kita akan sangat gampang untuk kompromi dan menyetujui hal-hal yang bertentangan dengan firman Tuhan.
Refleksi:
1. Dalam menjalankan tugas sebagai seorang imam, apakah yang sudah Saudara lakukan bagi keluarga Saudara?
2. Bagaimana kesediaan Saudara untuk belajar mengenal Allah dan kebenaran-Nya?
Menjadi Pengajar Utama di Rumah
“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
(Roma 12:1-2)
Kita akan melakukan sesuatu yang kita yakini sebagai sebuah kebenaran. Sebaliknya, bila sesuatu itu tidak kita yakini sebagai kebenaran, maka kita tidak akan melakukannya. Sebagai contoh, jika kita meyakini bahwa sebuah kursi sanggup untuk dapat menahan berat badan kita, maka kita akan mengambil tindakan untuk duduk di atas kursi tersebut. Namun, jika kita yakin bahwa kursi itu goyang dan tidak akan mampu untuk menahan berat badan kita, maka kita memutuskan untuk tidak duduk di atasnya. Jika demikian, betapa besarnya pengaruh “apa yang kita yakini sebagai kebenaran” di dalam kehidupan kita.
Terkait dengan hal yang di atas, maka perlu kita sadari pertama kali bahwa kita adalah orang yang menganut suatu teologi atau ajaran tertentu tentang Tuhan. Misalnya: Tuhan itu baik. Tuhan itu mengasihi saya dan berkorban bagi saya. Walaupun kita bukan orang yang berlatar belakang sekolah teologi, kita adalah orang yang “berteologi.” Kita mengimaninya dan kita melakukannya dalam kehidupan kita. Selain itu, kita juga perlu menyadari adalah bahwa kita mengajarkan teologi atau ajaran tersebut kepada orang lain, entah kita sadari atau tidak. Dengan kata lain, setiap kita adalah “guru agama bagi orang lain.”
Tentu saja hal ini terjadi secara nyata di dalam keluarga kita. Sebagai orang tua, kita memiliki suatu ajaran tertentu dan kita mengajarkannya kepada anggota keluarga kita. Sebagai contoh: ketika kita melewati sebuah tempat yang dianggap “angker” atau “keramat” maka kita meminta “izin” dari “orang tua yang berada di tempat tersebut.” Kita meyakini bahwa hal ini sebagai sebuah kebenaran, dan kita menghidupinya dan mengajarkannya kepada anak-anak kita. Masih banyak contoh-contoh yang lain, dan kita mengajarkannya kepada anggota keluarga kita.
Karena itu, betapa pentingnya untuk kita mengevaluasi “kebenaran yang kita yakini” selama ini: apakah memang ini adalah sebuah kebenaran? Atau, apakah ini adalah sebuah kebohongan? Apakah kita mengetahui bahwa kita sedang mempercayai sesuatu yang salah? Kita membutuhkan Firman Tuhan untuk menerangi hati dan pikiran kita. Firman Tuhan adalah pelita dan terang bagi hidup kita. Firman Tuhan akan memberitahukan kepada kita tentang apa yang ada di dalam hati dan pikiran kita: apakah sudah sesuai dengan kebenaran Tuhan atau belum.
Sebagai orang tua, pastilah anak-anak kita mengajukan banyak pertanyaan tentang hal-hal yang rohani kepada diri kita. Misalnya, siapakah yang menciptakan alam semesta ini? Siapakah Yesus itu? Mengapa harus melalui pengorbanan di kayu salib? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang kita dapati. Hal ini mendorong kita untuk memperlengkapi diri kita dalam memahami kebenaran firman Tuhan.
Rasul Paulus menegaskan agar kita mengalami perubahan dan pembaharuan, “berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Ini merupakan salah satu tahap yang harus terjadi di dalam hidup kita. Tuhan menghendaki agar kita mengenal kebenaran-Nya seturut dengan apa yang telah ditetapkan-Nya. Kita tidak boleh membangun paradigma sendiri tentang Allah. Sebaliknya, kita harus dengan rela hati melepaskan paradigma yang lama dan yang keliru, lalu menggantinya dengan yang baru.
Pengenalan yang benar tentang Tuhan akan menjadi dasar yang kuat bagi sebuah pernikahan-keluarga. Ada banyak keputusan dan langkah yang harus diambil oleh sebuah keluarga. Namun, bila kita mengerti dan mengenal kebenaran Tuhan, maka itu akan menjadi pedoman dalam berbagai keputusan yang diambil dalam pernikahan-keluarga. Namun, jika kita tidak memiliki pemahaman yang benar, maka kita akan sangat gampang untuk kompromi dan menyetujui hal-hal yang bertentangan dengan firman Tuhan.
Refleksi:
1. Dalam menjalankan tugas sebagai seorang imam, apakah yang sudah Saudara lakukan bagi keluarga Saudara?
2. Bagaimana kesediaan Saudara untuk belajar mengenal Allah dan kebenaran-Nya?
Komentar
Posting Komentar