Roots and Wings: SESI 1 - DELAPAN ASPEK KURIKULUM INTI UNTUK PEMURIDAN
Sesi 1
DELAPAN ASPEK KURIKULUM INTI UNTUK
PEMURIDAN
1.
Percakapan
Pembuka
Ajaklah para anggota KP untuk membagikan salah satu hal
berikut ini:
ü
Bagaimana Anda bertobat?
ü
Siapakah orang yang paling berpengaruh dalam
hidup Anda?
ü
Menengok ke belakang, bagaimana pertumbuhan
rohani Anda selama ini?
ü
Memandang ke depan, bagaimana kerinduan Anda
untuk bertumbuh secara rohani?
ü
Apa yang Anda harapkan/ingin Anda capai melalui
sesi-sesi belajar bersama dalam KP?
2.
Pengarahan
oleh Pemimpin KP
Berikanlah pengarahan kepada para anggota KP mengenai
hal-hal berikut:
ü
Garis besar PA 5 hari dan Format 4 Pertanyaan.
ü
Persiapan untuk PA yang intensional dan hasil
yang diharapkan.
ü
Proses belajar.
ü
Yang diharapkan dalam kelompok pemuridan (KP)
dan perjanjian kelompok.
ü
Interaksi dalam Kelompok Pemuridan (KP)
ü
Depan aspek kurikulum inti untuk pemuridan:
o
Gamba A.
o
4 hal penting diperhatikan dari 8 aspek
kurikulum inti untuk pemuridan.
3.
Doa dan
Perjanjian Kelompok
Berdoalah untuk sesama anggota KP agar dapat saling
menolong dalam menjalani kesepakatan belajar bersama.
BAGIAN SATU: Delapan Aspek Kurikulum Inti untuk Pemuridan
Pemuridan
yang otentik dan intensional menuntut komitmen. Berbicara tentang komitmen,
perkenankan saya mengawalinya dengan sebuah perenungan yang menggugah pikiran mengenai
kompromi. Dalam bukunya Loving God,
Chuck Colson menulis tentang sikap berkompromi yang telah meresap ke dalam
Gereja. Tulisannya sangat baik, sehingga saya mengutip keseluruhan bagian ini:
Bacaan populer yang paling laku
mengusung judul-judul yang memberikan jaminan kesuksesan dalam segala hal, mulai dari cara sukses menghasilkan uang
banyak hingga cara sukses rnengencangkan tubuh. Obsesi tak kentara untuk
“aktualisasi diri" ini telah menumbuhkan nilai-nilai palsu; kita memuja
ketenaran, kesuksesan, materialisme, dan status terhormat. Kita ingin
"hidup sukses" dengan "menjadi nomor satu", dan kita tidak
keberatan jika harus "menang dengan menindas orang lain".
Meski demikian, dunia yang berpusat
pada diri sendiri ini berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Setiap
hal baru yang menjanjikan kesuksesan berakhir pada kondisi yang sebaliknya.
Tren "pemenuhan diri" (self-fulfillment)
pada era tahun 1970-an justru menciptakan kehidupan yang serba egois dan
terasing satu sama lain, bukan kehidupan yang lebih memuaskan dan penuh
kebebasan seperti yang diprediksi. Teknologi yang diciptakan untuk mengantar
manusia menuju kehidupan baru yang ideal, kini malah berpotensi memusnahkan
manusia dan planet ini dalam sebuah ledakan sekejap. Tiga dekade yang tampaknya
diwarnai kemakmuran tanpa batas ini ternyata hanya berhasil mengeringkan moral
masyarakat kita, membuatnya kosong secara rohani dan lemah secara ekonomi. Dunia
kita dipenuhi dengan orang-orang yang memikirkan diri sendiri, penuh ketakutan
dan kosong jiwanya.
Dan di tengah semuanya ini, kita
memiliki gereja – para pengikut Kristus. Bagi gereja, ini seharusnya merupakan
suatu kesempatan. Gerejalah yang dapat menyediakan cara pandang hidup yang
benar bagi orang-orang yang tidak memiliki tujuan hidup; gerejalah yang dapat
melangkah masuk ke dalam kekosongan dan menunjukkan bahwa ada Allah yang Hidup
dan Maha Kuasa, Sang Sumber Kebenaran.
TETAPI,
gereja juga memiliki masalah yang serupa dengan masyarakat itu sendiri, gereja
telah menganut sistem nilai yang sama: memuja ketenaran, kesuksesan,
materialisme, dan status terhormat. Kita menjadikan gereja- gereja terkemuka
dan para pemimpin Kristen yang terkenal sebagai patokan kita. Kita menghendaki
pengkhotbah yang paling terkenal, ruang ibadah yang paling besar dan gedung
yang paling megah.
Keterikatan
dengan nilai-nilai ini juga telah menyimpangkan pesan gereja. Ketika asisten
dari seorang pendeta yang terkenal di media ditanyai apa kunci keberhasilan
pendeta tersebut, ia menjawab tanpa ragu-ragu, “Kami melakukan apa yang
diinginkan orang." Konsep menyimpang ini mendasari pesan berbahaya yang
sekarang banyak dikhotbahkan: Injil yang
akan “memenuhi keinginan Anda.”
Sekalipun saya yakin sebagian besar
jemaat Yesus Kristus muak dengan pernyataan, “Kami melakukan apa yang diinginkan
orang", tulisan Chuck merupakan komentar yang menyedihkan tentang umat
yang seharusnya berkomitmen untuk menyenangkan Allah dan melakukan apa yang
Allah kehendaki
Mengembalikan Gereja pada Akar Alkitabiahnya
Dalam
membentuk murid Kristus, apa hal terpenting yang harus diajarkan? Menurut
sebagian orang yang paling penting adalah menanamkan visi tentang dunia yang
harus dilayani. Sebagian yang lain menganggap pengajaran firman Allah sebagai
hal terpenting. Ada juga kelompok yang lebih menekankan pentingnya doa. Semua topik pengajaran ini sama pentingnya.
Meski demikian, proses pemuridan haruslah
holistik. Sebab itu, kita seharusnya berfokus bukan pada topik-topik yang
terpisah, melainkan pada kurikulum keseluruhan yang mengintegrasikan semua hal
penting ini.
Pertanyaannya sekarang, kurikulum inti
untuk proses pemuridan yang holistik dan efektif itu mencakup apa saja?
Saat merenungkan pertanyaan ini, saya
menemukan delapan prinsip alkitablah sebagai kurikulum inti bagi pemuridan yang
efektif. (Lihat Gambar A di halaman berikut)
1.
Teologi
yang Alkitabiah.
Bagian
ini membahas pertanyaan: “Siapakah Allah?”
Berbicara tentang teologi bukan
berarti sebuah pembahasan akademis yang kering. Bagi saya teologi justru
merupakan pemahaman mendasar tentang siapakah Allah dan prinsip-prinsip yang
tidak berubah dalam cara-Nya berelasi dengan manusia. Kita harus memiliki pandangan
yang tinggi tentang Allah.
Khotbah di Bukit diawali Yesus dengan
Ucapan Bahagia. Tujuan utamanya bukan sekadar untuk memberitahukan apa yang
harus kita lakukan. Tujuan yang lebih penting adalah untuk memberitahu kita
tentang Allah seperti apa yang kita
sembah, dan bagaimana kita seharusnya hidup dalam terang pengenalan tentang
pribadi Allah itu. Teologi yang alkitabiah akan membawa kita memiliki
pengabdian yang alkitabiah.
2.
Pengabdian
yang Alkitabiah.
Bagian
ini membahas pertanyaan: “Siapakah Tuan atas hidup saya?”
Sangat jelas bahwa ketuhanan Yesus
Kristus merupakan tema utama Perjanjian Baru. Dialah Tuan atas kehidupan kita.
Pemuridan dimulai dan diakhiri dengan keputusan tentang, “Siapakah tuan atas
kehidupan kita?”
Lukas 9 dan 14 merupakan contoh klasik
bagian Alkitab yang berbicara tentang ketuhanan Yesus Kristus. Tidak ada
kompromi. Pemuridan yang alkitabiah menumbuhkan pengabdian yang alkitabiah.
Pengabdian yang alkitabiah membawa kita pada identitas yang alkitabiah.
3.
Identitas
yang Alkitabiah.
Bagian
ini membahas pertanyaan: “Siapakah diri saya?”
Krisis terbesar dalam kekristenan
adalah krisis identitas. “Identitas” merupakan sebuah kata yang menggambarkan
relasi. Kita menemukan identitas kita dalam konteks relasi dengan pribadi yang
lain. Itu sebabnya kejelasan tentang siapa yang menjadi Tuan atas hidup kita
menurut Alkitab (pengabdian yang alkitabiah), akan membawa kita menemukan
identitas sejati kita menurut Alkitab.
Tuhan Yesus berkata kepada
murid-murid-Nya: “Kamulah garam dunia.”
Kata ganti yang digunakan dengan tegas menyatakan kamu dan hanya kamu-lah
yang punya kualitas sebagai garam dunia. Gereja haruslah menjadi sebuah
komunitas yang secara unik berbeda dengan dunia. Perbedaan dengan dunia
merupakan identitas para pengikut Yesus. Ketika kita menemukan identitas diri
yang selaras dengan Alkitab, kita pun akan menemukan tujuan hidup yang alkitabiah.
4.
Tujuan
yang Alkitabiah.
Bagian
ini membahas pertanyaan: “Apa panggilan hidup saya?”
Identitas yang benar membawa orang
memiliki tujuan hidup yang benar. Identitas kita mengarahkan panggilan hidup
kita. Ketika Tuhan Yesus berkata, “Kamulah
terang dunia,” Dia sedang mengarahkan murid-murid-Nya untuk hidup dengan
kesadaran akan panggilan hidup mereka.
Ini merupakan sebuah undangan untuk menyelaraskan
tujuan hidup kita yang mendasar dengan tujuan penebusan Allah secara global.
Sudah sepatutnya umat Allah menyerahkan diri pada tujuan yang lebih tinggi,
sasaran hidup yang lebih luhur. Tujuan hidup yang alkitabiah akan menolong kita
untuk memiliki nilai-nilai yang juga alkitabiah.
5.
Nilai-nilai
yang Alkitabiah.
Bagian
ini membahas pertanyaan: “Apa yang terpenting dalam hidup saya?”
“Nilai-nilai” itu kata yang berkaitan
erat dengan tujuan. Kita tidak bisa mengenali apa saja nilai yang kita anggap
penting, tanpa mengetahui apa sebenarnya tujuan hidup kita. Ketika tujuan kita
diselaraskan dengan tujuan Allah, maka pembentukan karakter akan menjadi nilai
yang utama dalam hidup kita.
Dalam Matius 6:33, Yesus berkata, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya.” Ini menyatakan
kebutuhan kita untuk menyelaraskan nilai-nilai yang kita pegang dengan
kebenaran menurut standar Allah. Allah sangat peduli dengan kehidupan kita –
bukan sekadar apa yang tampak dari luar, melainkan apa yang ada dalam batin
kita. Karakter kita penting bagi Allah. Nilai-nilai penting bagi Allah.
Nilai-nilai yang berdasar pada Alkitab menolong kita untuk menempatkan
prioritas-prioritas yang berdasar Alkitab.
6.
Prioritas-prioritas
yang Alkitabiah.
Bagian
ini membahas pertanyaan: “Apa yang harus saya dahulukan dalam hidup?”
Menjalani kehidupan dengan prioritas
yang alkitabiah berarti memegang nilai-nilai yang kita anut secara konsisten
dalam hidup sehari-hari. Ini merupakan kemampuan menata prioritas, mendahulukan
apa yang paling penting. Ada orang pernah berkata, “Yang utama adalah menjaga
agar hal yang utama tetap menjadi hal yang utama.” Prioritas yang benar
menolong kita menata waktu dan dengan demikian menata hidup kita.
Dalam Matius 6:33, Yesus berkata, “Carilah
dahulu Kerajaan Allah....”
Itu yang namanya prioritas. Hal yang kita utamakan lebih dulu. Prioritas-prioritas
yang berdasar Alkitab akan membawa hidup kita diberdayakan sesuai dengan
Alkitab.
7.
Pemberdayaan
yang Alkitabiah.
Bagian
ini membahas pertanyaan: “Bagaimana agar hidup saya berdaya guna?”
Sangatlah jelas bahwa kehidupan orang
Kristen tidak dimaksudkan untuk dihidupi sendiri. Tak ada jagoan tunggal dalam
Kerajaan Allah. Kita tidak dapat menjalani hidup sendirian. Tuhan tidak
merancang kita demikian. Ada tiga aspek pemberdayaan yang akan kita bahas dalam
bagian ini; Pemberdayaan oleh Gereja dan Pemberdayaan oleh Disiplin Rohani.
Bacaan pelengkap “Memberi Nutrisi Bagi Jiwa” memberikan gambaran tentang berbagai
disiplin rohani dan mengapa aspek ini penting bagi sebuah pemuridan yang
otentik. Kita diberdayakan oleh disiplin-disiplin rohani ini melalui komunitas
yang dipenuhi kasih dan kemauan belajar. Pemberdayaan yang demikian akan
menolong kita memiliki fondasi kehidupan yang alkitabiah.
8.
Fondasi
yang Alkitabiah.
Bagian
ini membahas pertanyaan: “Di atas dasar apa saya harus membangun hidup?”
Tuhan Yesus mengakhiri Khotbah di
Bukit dengan sebuah perumpamaan yang mengontraskan dua keadaan: orang yang
membangun rumahnya di atas dasar pasir dan orang yang membangun rumahnya di
atas dasar batu. Dalam konteks perumpamaan tersebut, Yesus utamanya hendak
mengajarkan bahwa firman Allah merupakan pedoman dan fondasi terbaik dalam
hidup ini.
Fondasi yang benar di dalam firman
Allah membawa kita sekali lagi memiliki teologi yang berdasar Alkitab, karena
dasar dari segala teologi yang benar adalah firman Allah. Demikianlah siklus
ini terus berlanjut dan mendorong kita untuk terus bertumbuh dan belajar
sebagai murid-murid Kristus. Kurikulum inti ini sangat esensial bagi
pertumbuhan kita, baik sebagai roang yang baru menjadi murid Kristus, maupun
mereka yang sudah memuridkan orang lain. Tanamkanlah delapan pilar dasar ini
dalam kehidupan orang-orang yang Allah percayakan untuk kita bimbing.
BAGIAN
KEDUA: Empat Hal yang Penting Diperhatikan
Saya ingin menambahkan empat hal
penting harus diperhatikan tentang delapan aspek kurikulum inti yang baru saja
diuraikan.
1.
Kedelapan
aspek ini bersifat FUNDAMENTAL
Kedelapan aspek ini tidak didaftarkan
secara kebetulan atau sebagai bahan tambahan, tetapi merupakan sesuatu yang
fundamental atau sangat mendasar. Ada hal-hal dalam hidup ini yang terjadi
secara kebetulan, hal-hal yang sama sekali tidak penting. Ada hal-hal lain
dalam hidup yang tidak mutlak perlu, tetapi ditambahkan sebagai pelengkap
hidup. Namun, ada pula hal-hal yang tidak boleh tidak ada, balok-balok penyusun
bangunan kehidupan kita.
Kedelapan aspek ini merupakan hal-hal
yang sifatnya sangat mendasar. Setiap tahap membahas pertanyaan yang sangat
penting bagi setiap murid Kristus.
a. Siapakah
Allah? (Teologi yang alkitabiah)
b. Siapakah
Tuas atas hidup saya? (Pengabdian yang alkitabiah)
c. Siapakah
diri saya? (Identitas yang alkitabiah)
d. Apa
panggilan hidup saya? (Tujuan yang alkitabiah)
e. Apa yang terpenting dalam hidup saya?
(Nilai-nilai yang alkitabiah)
f.
Apa yang harus saya dahulukan dalam hidup?
(Prioritas yang alkitabiah)
g. Bagaimana
agar hidup saya berdaya guna? (Pemberdayaan yang alkitabiah)
h. Di atas
dasar apa saya harus membangun hidup? (Fondasi yang alkitabiah)
2.
Kedelapan
aspek ini bersifat PROGRESIF
Kedelapan aspek dalam kurikulum ini
tidaklah berdiri sendiri, tetapi progresif dan berkembang secara bertahap. Tiap
aspek dibangun di aspek sebelumnya dan saling berkaitan erat satu sama lain.
Teologi yang benar seharusnya
menumbuhkan pengabdian yang benar, dan pengabdian yang benar memunculkan
identitas yang benar. Demikian pula, identitas yang benar menghasilkan tujuan
yang benar, dan tujuan yang benar melahirkan
nilai-nilai yang benar.
Nilai-nilai yang benar menentukan
prioritas yang benar, dan prioritas yang benar memberdayakan hidup dengan
benar, dan proses itu akan emmbangun fondasi hidup yang benar. Satu-satunya fondasi
yang dapat diandalkan adalah firman Allah: Firman Allah yang Hidup (Yesus
Kristus) dan firman yang tertulis (Alkitab). Di atas fondasi ini teologi yang
benar akan dibangun, demikian seterusnya siklus yang sama akan berulang.
Kita tidak bisa memilih aspek-aspek
tertentu saja sebagai favorit kita. Kita memerlukan SEMUA aspek ini untuk bisa
efektif menjadi dan menjadikan murid Kristus.
3.
Kedelapan
aspek ini bersifat DIAGNOSTIK
Karena sifatnya yang progresif,
kedelapan aspek kurikulum inti juga bersifat diagnostik. Delapan aspek ini
dapat menolong seorang murid Kristus membedakan apakah persoalan yang dihadapi
seseorang itu ada dampak masalah yagn terlihat dari luar atau akar masalah itu
sendiri. Misalnya saja, jika ada orang yang Anda bimbing memiliki persoalan
dengan prioritas-prioritasnya, itu sebenarnya adalah dampak masalah.
Untuk memperjelas akar masalahnya, mundurlah selangkah berlawanan
dengan arah jarum jam pada siklus Delapan Aspek Kurikulum Inti (Gambar A). Anda
akan menemukan bahwa akar masalah orang itu sebenarnya terletak pada
nilai-nilai yang dipegangnya. Persoalan prioritas pada dasarnya adalah masalah
tentang nilai-nilai yang diyakini.
Contoh yang lain, jika ada orang
bermasalah dengan tujuan hidupnya, akar masalahnya ada pada identitasnya.
Tujuan hidup yang jelas lahir dari identitas diri yang jelas. Demikian pula,
orang yang teologinya bermasalah, jelas akar masalahnya terletak pada fondasi
yang rapuh dalam firman Allah.
4.
Kedelapan
aspek ini bersifat PRESKRIPTIF
Menemukan akar masalah adalah satu
hal. Mengetahui apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya adalah hal lain.
Karena bersifat fundamental dan progresif, kurikulum ini tidak hanya dapat
mendiagnosa sumber masalah, tetapi juga memberikan petunjuk penyelesaian. Kalau
tadi untuk mengetahui akar masalah kita mundur selangkah, sekarang untuk
menemukan solusinya, kita mundur dua langkah. Misalnya saja,
prioritas-prioritas yang tidak tepat
berakar pada keyakinan akan nilai-nilai yang keliru. Untuk memperbaiki
nilai-nilai yang keliru itu, Anda harus kembali memeriksa tujuan hidup orang
yang bersangkutan.
Jadi, secara sederhana, untuk menolong
murid saya yang memiliki masalah prioritas, saya harus mulai dengan membantunya
menetapkan tujuan hidup. Kesadaran akan tujuan hidup akan memudahkan orang yang
bersangkutan menentukan apa yang paling penting bagi dirinya (nilai-nilai
kehidupannya). Jika kerangka nilainya sudah jelas, orang tersebut akan lebih
mudah menata prioritas hidupnya.
Banyak
murid Kristus sekarang ini bisa memberikan daftar prioritas dalam hidupnya,
tapi daftar itu sesungguhnya tidak mewakili praktek hidup mereka. Daftar
prioritas yang mereka buat hanya sebatas teori semata. Kemungkinan besar ini
dikarenakan nilai-nilai yang ia yakini belum diperbaharui atau ia belum
memiliki komitmen untuk hidup dengan tujuan yang alkitabiah.
Sebaliknya,
makin seseorang berkomitmen pada tujuan hidupnya, pastilah ia akan makin
berkomitmen terhadap hal-hal yang menjadi prioritas. Para pengikut Kristus
seharusnya tidak sekadar berteori tentang prioritas menurut Alkitab, tetapi
sungguh-sungguh mempraktekkannya.
Kurikulum
inti ini menolong kita memiliki sebuah pola yang jelas dalam membimbing orang
sebagai murid Kristus. Ketika membacanya, renungkanlah bagian demi bagian
baik-baik, simak dengan teliti hingga Anda mengerti, dan manfaatkanlah secara efektif
dalam pelayanan pemuridan Anda.
REFLEKSI KELOMPOK: Delapan Aspek Kurikulum
Inti untuk Pemuridan
1.
Dalam perjalanan rohani Anda saat ini, area
mana yang dirasakan paling bermasalah
dan bagaimana Anda mendiagnosa
akar masalahnya?
2.
Temukan dua langkah praktis yang akan Anda
ambil untuk kembali pada pola yang alkitabiah dalam mengikut Kristus?
3.
Tulislah dalam kalimat yang sederhana, 2-3 hal
yang Anda pelajari hari ini.
PEKERJAAN
RUMAH
1.
Hafalkan kedelapan aspek kurikulum inti untuk
pemuridan, beserta pertanyaan penuntunnya.
2.
Lakukan PA-5 hari menggunakan bahan-bahan yang
sudah disediakan dalam Sesi 2.
3.
Berdoalah, libatkanlah Allah dalam situasi
kehidupan Anda sehari-hari. Mintalah agar Allah membukakan
kesempatan-kesempatan bagi Anda untuk menjadi saluran berkat, mendoakan, dan
membagikan Kristus kepada sesama.
4.
Mulailah membaca tiga pasal Alkitab setiap
hari.
Komentar
Posting Komentar